Skip to content
Home » Blog » Panggung Sandiwara Dunia

Panggung Sandiwara Dunia

Jika hari ini kita berusia 25 tahun, lalu kita belum punya apa-apa; rumah, mobil, tas Hermes, dan lain sebagainya. Kemudian kita berusaha untuk mendapatkan itu semua dengan cara: ‘kerja, kerja, kerja’. Barulah di usia 45 tahun kita punya rumah mewah, di usia 50 tahun kita punya mobil, dan di usia 60 tahun kita memakai tas Hermes. Setelah itu, di usia 63 tahunnya wafat. Dan baru sebentar saja kita menikmati itu semua. Sungguh kocak kehidupan dunia ini.

Usia umat Nabi Muhammad merupakan usia terpendek dibandingkan usia manusia purbakala yang bisa mencapai ratusan hingga ribuan tahun. Rentang usia umat zaman now rata-rata tidak lebih dari usia 60-80 tahun. Sangat singkat dibandingkan usia zaman baheula.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ ، قَالَ : أَعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ.

Dari Abu Hurairah –radhiyal-Llahu ‘anhu– bahwa Rasulullah –shallal-Llahu ‘alaihi wa sallam– bersabda, “Usia umatku itu antara 60 sampai 70 tahun, dan sangat sedikit sekali yang melebihi usia tersebut”. (Sunan Ibnu Majah no. 4236)

Jika disimulasikan dengan capaian seseorang dalam konteks kehidupan dunia, maka akan sangat sebentar sekali orang yang menikmati dunia ini. Kecuali hanya mereka yang terlahir dari keluarga berdarah biru; anak raja, sultan, ningrat, dan anak presiden. Menurut penelitian Javier Miranda dari Biro Sensus Amerika Serikat menyatakan bahwa sebagian besar para pembisnis muda yang merintis usahanya di usia 20-an, mereka sukses di usia 45 tahun. (CNBC Indonesia)

Oleh karenanya, Allah Ta’ala sudah memperingatkan bahwa kehidupan yang hakiki dengan kenikmatan yang abadi, kekal, tanpa batas, dan unlimited hanyalah di akhirat nanti. Selama manusia berada di dunia, hanya akan terjabak pada lingkaran kenikmatan yang semu dan sesaat.

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ.

Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, bagaikan hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu melihat warnanya menjadi kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada azab yang keras dan ada ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS. Al-Hadid [57]: 20)

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْضِعُ سَوْطٍ فِي الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

Dari Sahal bin Sa’ad as-Sa’idi ia berkata, “Rasulullah shallal-Llahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wadah cambuk yang ada di surga lebih baik daripada dunia dan seisinya”. (Shahih al-Bukhari bab Ma Ja’a fi Shifail Jannah no. 3250)

Berkenaan hal ini, al-Ghazali memberikan narasi imajinatif yang menarik untuk disimak dan dibaca. Saking menariknya, Ibnu Hajar pun ikut mengutipnya dalam pembahasan kitab Fathul Barinya.

اعْلَمْ أَنَّ مَثَلَ أَهْلِ الدُّنْيَا فِي غَفْلَتِهِمْ كَمَثَلِ قَوْمٍ رَكِبُوا سَفِينَةً فَانْتَهَوْا إِلَى جَزِيرَةٍ مُعْشِبَةٍ فَخَرَجُوا لِقَضَاءِ الْحَاجَةِ فَحَذَّرَهُمُ الْمَلَّاحُ مِنَ التَّأَخُّرِ فِيهَا وَأَمَرَهُمْ أَنْ يُقِيمُوا بِقَدْرِ حَاجَتِهِمْ وَحَذَّرَهُمْ أَنْ يُقْلِعَ بِالسَّفِينَةِ وَيَتْرُكَهُمْ فَبَادَرَ بَعْضُهُمْ فَرَجَعَ سَرِيعًا فَصَادَفَ أَحْسَنَ الْأَمْكِنَةِ وَأَوْسَعَهَا فَاسْتَقَرَّ فِيهِ وَانْقَسَمَ الْبَاقُونَ فِرَقًا الْأُولَى اسْتَغْرَقَتْ فِي النَّظَرِ إِلَى أَزْهَارِهَا الْمُونِقَةِ وَأَنْهَارِهَا الْمُطَّرِدَةِ وَثِمَارِهَا الطَّيِّبَةِ وَجَوَاهِرِهَا وَمَعَادِنهَا ثُمَّ اسْتَيْقَظَ فَبَادَرَ إِلَى السَّفِينَةِ فَلَقِيَ مَكَانًا دُونَ الْأَوَّلِ فَنَجَا فِي الْجُمْلَةِ الثَّانِيَةُ كَالْأُولَى لَكِنَّهَا أَكَبَّتْ عَلَى تِلْكَ الْجَوَاهِرِ وَالثِّمَارِ وَالْأَزْهَارِ وَلَمْ تَسْمَحْ نَفْسُهُ لِتَرْكِهَا فَحَمَلَ مِنْهَا مَا قَدَرَ عَلَيْهِ فَتَشَاغَلَ بِجَمْعِهِ وَحَمْلِهِ فَوَصَلَ إِلَى السَّفِينَةِ فَوَجَدَ مَكَانًا أَضْيَقَ مِنَ الْأَوَّلِ وَلَمْ تَسْمَحْ نَفْسُهُ بِرَمْيِ مَا اسْتَصْحَبَهُ فَصَارَ مُثْقَلًا بِهِ ثُمَّ لَمْ يَلْبَثْ أَنْ ذَبَلَتِ الْأَزْهَارُ وَيَبِسَتِ الثِّمَارُ وَهَاجَتِ الرِّيَاحُ فَلَمْ يَجِدْ بُدًّا مِنْ إِلْقَاءِ مَا اسْتَصْحَبَهُ حَتَّى نَجَا بِحُشَاشَةِ نَفْسِهِ الثَّالِثَةُ تَوَلَّجَتْ فِي الْغِيَاضِ وَغَفَلَتْ عَنْ وَصِيَّةِ الْمَلَّاحِ ثُمَّ سَمِعُوا نِدَاءَهُ بِالرَّحِيلِ فَمَرَّتْ فَوَجَدَتِ السَّفِينَةَ سَارَتْ فَبَقِيَتْ بِمَا اسْتَصْحَبَتْ فِي الْبَرِّ حَتَّى هَلَكَتْ وَالرَّابِعَةُ اشْتَدَّتْ بِهَا الْغَفْلَةُ عَنْ سَمَاعِ النِّدَاءِ وَسَارَتِ السَّفِينَةُ فَتَقَسَّمُوا فِرَقًا مِنْهُمْ مَنِ افْتَرَسَتْهُ السِّبَاعُ وَمِنْهُمْ مَنْ تَاهَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى هَلَكَ وَمِنْهُمْ مَنْ مَاتَ جُوعًا وَمِنْهُمْ مَنْ نَهَشَتْهُ الْحَيَّاتُ قَالَ فَهَذَا مِثْلُ أَهْلِ الدُّنْيَا فِي اشْتِغَالِهِمْ بِحُظُوظِهِمُ الْعَاجِلَةِ وَغَفْلَتِهِمْ عَنْ عَاقِبَةِ أَمْرِهِمْ ثُمَّ خَتَمَ بِأَنْ قَالَ وَمَا أَقْبَحَ مَنْ يَزْعُمُ أَنَّهُ بَصِيرٌ عَاقِلٌ أَنْ يَغْتَرَّ بِالْأَحْجَارِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْهَشِيمِ مِنَ الْأَزْهَارِ وَالثِّمَارِ وَهُوَ لَا يَصْحَبُهُ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ بَعْدَ الْمَوْتِ وَالله الْمُسْتَعَان

Ketahuilah bahwa kelalaian penghuni dunia bagaikan para penumpang perahu yang berlayar di laut. Lalu para penumpang itu berhenti di suatu pulau yang berumput. Semua para penumpang pun keluar menuju pulau itu untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sedangkan nahkoda mengingatkan mereka agar tidak terlambat kembali ke perahu. Nahkoda pun memerintahkan mereka agar waktu istirahat dipergunakan untuk kebutuhan primer saja. Bahkan nahkoda memperingatkan mereka lagi, bahwa perahu akan lepas landas dan meninggalkan mereka jika mereka telat kembali.

Sebagian mereka ada yang bersegera dan cepat-cepat kembali ke perahu hingga mereka mendapati tempat terbaik dan tempat yang luas untuk duduk di tempat itu. Sedangkan penumpang lainnya terbagi kepada beberapa kelompok. Kelompok pertama adalah para penumpang yang termanjakan matanya oleh aneka ragam bunga-bunga yang cantik, sungai-sungai yang mengalir tenang, buah-buahan yang segar, dan permata-permata yang indah. Mereka pun tersadar bahwa perahu akan lepas landas, lalu mereka segera menuju perahu dan menemukan tempat duduk selain yang telah ditempati oleh penumpang pertama. Meski demikian, mereka semua berhasil sampai ke perahu.

Kelompok yang kedua sama seperti kelompok yang pertama. Akan tetapi kelompok yang kedua ini malah fokus pada permata-permata, buah-buahan, dan bunga-bunga yang ada di pulau itu. Mereka tak rela jika harus meninggalkan pulau itu tanpa membawa sesuatu. Akhirya mereka sibuk mengumpulkan semua itu dan membawanya ke dalam perahu. Sesampainya mereka ke perahu, mereka mendapati tempat yang sangat sempit daripada tempat yang diduduki oleh penumpang yang kedua. Dan mereka tak mau membuang sebagian yang mereka bawa, hingga mereka merasa berat dan kepayahan dengan barang bawaanya. Kemudian apa yang mereka bawa itu tidak bertahan lama; bunga-bunga menjadi layu; buah-buah menjadi busuk; dan hingga ombak menerpa semua itu. Tidak ada yang tersisa dari apa yang mereka bawa kecuali diri mereka sendiri.

Kelompok ketiga adalah para penumpang yang terhanyut perhatiaanya pada keindahan pulau itu. Mereka lalai dari peringatan nahkoda. Kemudian mereka mendengar lonceng tanda keberangkatan perahu. Mereka akhirnya mendapat perahu itu sudah lepas landas dan mereka pun tertinggal di pulau itu hingga mereka binasa. Kelompok keempat lebih parah lagi. Mereka benar-benar tidak mendengarkan peringatan nahkoda dan perahu pun benar-benar telah berangkat. Akhirnya semuanya binasa di pulau itu; ada yang binasa karena diterkam binatang; ada yang binasa karena tersesat; ada yang binasa karena kelaparan; dan ada yang binasa karena digigit ular. (Fathul Bari dalam Kitabur Riqaq bab Matsalid Dunya fil Akhirah)

Imam al-Ghazali –sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Hajar- mengakhiri perumpamaan dunia yang ia buat dengan nasihat berikut ini:

فَهَذَا مِثْلُ أَهْلِ الدُّنْيَا فِي اشْتِغَالِهِمْ بِحُظُوظِهِمُ الْعَاجِلَةِ وَغَفْلَتِهِمْ عَنْ عَاقِبَةِ أَمْرِهِمْ … وَمَا أَقْبَحَ مَنْ يَزْعُمُ أَنَّهُ بَصِيرٌ عَاقِلٌ أَنْ يَغْتَرَّ بِالْأَحْجَارِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْهَشِيمِ مِنَ الْأَزْهَارِ وَالثِّمَارِ وَهُوَ لَا يَصْحَبُهُ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ بَعْدَ الْمَوْتِ وَالله الْمُسْتَعَان

Ini adalah perumpamaan orang yang gila dunia yang disibukan dengan kenikmatan-kenikmatan sesaat dan mereka lupa akibat dari akhir semua itu… alangkah jeleknya orang yang menyangka bahwa dirinya berakal tetapi tertipu oleh batu-batuan sejenis emas dan perak dan oleh rumput-rumputan sejenis bunga dan buah-buahan. Padahal ketika ia mati itu semua tidak akan menemaninya. Dan hanya Allah tempat dimintai pertolongan.

Bagi orang cerdas, tentu dunia ini bukan menjadi tujuannya. Mereka sadar dan paham bahwa dunia ini hanyalah senda gurau dan panggung sandiwara. Tapi bagi orang dungu dan tolol, dunia menjadi tujuan dan standarisasi kebahagiaan hatinya. Maka dari itu, syair menarik berikut ini yang dikutip oleh imam Nawawi dalam muqaddimah kitab Riyadhus Shalihin patut kita renungkan dan menjadi puisi terinspiratif.

إنّ لله عباداً فطنا … طلّقوا الدّنيا وخافوا الفتنا

نظروا فيها فلمّا علموا … أنّها ليست لحيٍّ وطنا

جعلوها لجّةً واتّخذوا … صالح الأعمال فيها سفنا

Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang cerdas. Mereka adalah orang yang melepaskan dunia karena takut fitnah-fitnahnya. Mereka merenungkannya. Setelah mereka sadar bahwa dunia bukan tempat kehidupan kekal. Mereka menjadikannya sebagai lautan. Dan mereka jadikan amal shaleh sebagai perahunya.

[Tulisan penulis yang serupa bisa dilihat pula di tafaqquh.net dengan judul Fatamorgana Dunia]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *