Skip to content
Home » Blog » Nikmat ‘Afiyat

Nikmat ‘Afiyat

Seorang laki-laki di suatu hari mendatangi Yunus bin ‘Ubaid rahimahullah. Laki-laki itu mengadukan tentang kesengsaraan dan kesulitan hidupnya yang ia jalani. Kemudian Yunus pun menasihatinya dengan bertanya, “Relakah jika engkau melepaskan kedua matamu kemudian aku beri seratus ribu dirham?” laki-laki itu menjawab, “Tentu tidak!”, kemudian Yunus bertanya kembali, “Jika demikianrelakah engkau melepaskan kedua kakimu kemudian aku ganti dengan serartus ribu dirham?” laki-laki itu menjawab kembali, “Tentu tidak!”. Akhirnya Yunus ketika itu memberi nasihat kepada laki-laki itu dengan mengatakan:

أَرَى عِنْدَكَ مِئَتَيْنِ أُلُوْفَا وَأَنْتَ تَشْكُو الحَاجَةَ

“Aku melihat engkau memiliki dua ratus ribu dirham namun engkau masih mengadukan kesulitan hidupmu” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam : 242)

Seringkali seorang hamba merasakan kesengsaraan dalam hidup, akan tetapi ia tidak menyadari padahal ia telah mendapatkan kenikmatan yang berlimpah dengan kesehatan jasad yang Allah berikan. Jasad ini adalah amanah dan titipan yang mesti setiap orang jaga. Amanah jasad ini harus digunakan untuk membantu meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah dan melaksanakan segala yang diperintahkan Allah ‘Azza wa Jalla.

أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ (8) وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ (9) وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ (10)

“Bukankah kami telah menjadikan untuknya dua mata. Satu lisan dan dua bibir. Dan kami telah memberikan kepadanya dua jalan” (QS. Al-Balad : 8-10)

Dalam ayat ini Allah hanya menyebutkan beberapa kenikmatan jasad. Diantaranya kenikmatan mata. Terdapat suatu kisah yang menunjukan bahwa kenikmatan mata ini justru harusnya menjadi di antara kenikmatan yang menambah ketaatan seorang hamba kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dikisahkan terdapat seorang hamba shalih yang buta. Kemudian ia ditanya, “Apa yang kamu inginkan saat ini?”. Laki-laki shalih itu menjawab, “Aku ingin kedua mataku dapat melihat, agar aku bisa membaca ayat-ayat Allah.

أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ (17)

“Apakah mereka tidak melihat bagaimana unta itu diciptakan” (Q.S al-Ghasyiyah : 17)

Aku tidak pernah berharap menginginkan dalam penglihatan ini kecuali setelah membaca ayat ini, karena Allah memerintahkan untuk melihat keagungan cipataan Allah yang akan menambah pelajaran dan tafakkur”.

Kenikmatan jasad inilah justru yang sering dilalaikan oleh manusia. Nabi saw pernah bersabda:

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالفَرَاغُ.

“Dua kenikmatan yang sering dilalaikan oleh manusia adalah kesehatan dan kesempatan” (H.R al-Bukhari. Bab as-Sihah wal Faragh Ni’matani Maghbunun fihima. No 2304)

Istilah maghbun dalam hadits ini sebenarnya digunakan bagi seorang pedagang yang menjual barang di bawah harga modal barangnya. Maka Nabi saw mengambarkan bahwa seorang yang tidak mengunakan kesehatan sebaik-baiknya maka ia akan celaka dan rugi seperti halnya seorang pedagang yang menjual barang dengan harga dibawah modalnya.  (Lihat Syarh Fathul Bari). Kesehatan jasad itu adalah modal, dan keuntungannya adalah beramal shalih.

Ketika seorang hamba dapat menggunakan jasadnya dalam ketaatan dan menjaganya dari keburukan maka inilah yang disebut dengan ke-’afiyatanKe-’afiyatan-lah yang menjadikan segala kenikmatan itu menjadi sempurna, sebagaimana hikmah yang dikatakan oleh seorang arab gunung kepada al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi.

Adalah suatu waktu al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi membuat hidangan makanan yang banyak. Ia membuat berbagai makanan dan minuman yang lezat. Setelah hidangan makanan itu telah sediakan, kemudian al-Hajjaj berkata kepada salah seorang arab gunung, “Makanlah ini adalah makanan dan minuman yang lezat”. Namun, justru orang arab gunung itu kemudian menasihati al-Hajjaj dengan berkata:

مَا طَيَبَهُ خَبَازُكَ وَ لَا طَبَاخُكَ وَ لَكِنْ طَيَبَتْهُ العَافِيَةُ

“Yang membuat makanan ini lezat bukanlah karena roti yang engkau miliki dan masakan yang engkau buat, akan tetapi yang membuat makanan ini enak adalah al-‘Afiyat”

Sangat tepat apa yang dikatakan oleh seorang arab gunung itu. al-‘Afiyat menjadikan seorang hamba dapat merasakan kenikmatan yang Allah berikan menjadi sempurna. Sebanyak apapun rezeki yang Allah berikan kepada seorang hamba, andaikan Allah tidak menurunkan al-‘Afiyat maka segala kenikmatan rezeki itu tidak berarti apa-apa.

Imam an-Nawawi menjelaskan makna al-‘Afiyat sebagai berikut: 

قَالَ النَوَوِي وَهِيَ مِنَ الأَلْفَاظِ العَامَةِ المُتَنَاوِلَةِ لِدَفْعِ جَمِيْعِ المَكُرُوْهَاتِ فِي البَدَنِ وَالبَاطِنِ فِي الدِيْنِ وَالدُنْيَا وَالآخِرَةِ

Al-‘Afiyat adalah adalah lafadz yang umum yang mencakup sesuatu yang menolak segala hal yang dibenci dalam badan dan batin. Begitu pun dalam hal agama, dunia dan akhirat” (‘Aunul Ma’bud, 199 : 12)

Ketika seorang tidak memiliki ‘Afiyat, bisa saja ia diberikan kesehatan oleh Allah swt ketika di dunia, namun belum tentu ia mendapatkan kesehatan di akhirat. Namun ketika ia diberikan ‘Afiyat maka hakikatnya ia telah diberikan kesehatan jasad dan batin ketika di dunia bahkan keselamatan jiwa kelak di kehidupan akhirat.

Afiyat ini pula yang diwasiatkan Nabi saw kepada pamannya ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib agar senantiasa menjadi perkara yang selalu diminta dalam do’a.

عَنِ العَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ عَلِّمْنِي شَيْئًا أَسْأَلُهُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ، قَالَ: سَلِ اللَّهَ العَافِيَةَ، فَمَكَثْتُ أَيَّامًا ثُمَّ جِئْتُ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ عَلِّمْنِي شَيْئًا أَسْأَلُهُ اللَّهَ، فَقَالَ لِي: يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّ رَسُولِ اللهِ، سَلِ اللَّهَ، العَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ.

“Dari al-‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib ia berkata, “Wahai Rasulullah ajarkan aku sesuatu yang aku minta dengannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla”. Kemudian Rasulullah menajwab, “Mintalah kepada Allah al-‘Afiyat”. Maka aku diam beberapa hari kemudian datang kembali dan bertanya,”Wahai Rasulullah ajarkan aku sesuatu yang dengannya aku meminta kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Maka beliau menjawab, “Wahai ‘Abbas paman Rasulullah, mintalah kepada Allah al-’Afiyat di dunia dan akhirat” (H.R at-Tirmidzi no. 3515)

Nabi saw ketika diminta satu doa oleh al-‘Abbas, beliau telah menganggap al-’Abbas mengantikan posisi ayah Nabi saw. Maka Nabi memilih doa yang memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia yaitu meminta al-‘Afiyat. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada doa yang menyamai kemuliaan doa meminta al-‘Afiyat. Karena dengan al-‘Afiyat seorang akan terjaga dari berbagai keburukan dan akan memperoleh kebaikan yang melimpah. (Tuhfatul Ahwadzi

Kemulian al-‘Afiyat ini dijelaskan pula dalam riwayat yang lain sebagai berikut:

اسْأَلُوا اللَّهَ العَفْوَ وَالعَافِيَةَ، فَإِنَّ أَحَدًا لَمْ يُعْطَ بَعْدَ اليَقِينِ خَيْرًا مِنَ العَافِيَةِ.

“Mintalah kalian kepada Allah ampunan dan ‘al-‘Afiyat karena seorang tidaklah diberikan sesuatu apapun setelah keyakinan itu lebih baik dari pada al-‘Afiyah” (H.R at-Tirmidzi . no 3558)

Dengan demikian perbanyaklah meminta nikmat al-‘Afiyat kepada Allah agar segala kenikmatan yang diberikan oleh Allah berbuah menjadi kebaikan baik di dunia dan akhirat. Karena sungguh tidak ada nikmat yang lebih baik setelah seorang hamba diberikan kenikmatan jasad oleh Allah daripada kenikmatan al-‘Afiyat di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam bis Shawwab.